BAB I PENDAHULUAN Agenda pembangunan pendidikan suatu bangsa tidak akan pernah berhenti dan selesai. Ibarat patah tumbuh hilang berganti, selesai memecahkan suatu masalah, muncul masalah lain yang kadang tidak kalah rumitnya. Begitu pula hasil dari sebuah strategi pemecahan masalah pendidikan yang ada, tidak jarang justru mengundang masalah baru yang jauh lebih rumit dari masalah awal. Itulah sebabnya pembangunan bidang pendidikan tidak akan pernah ada batasnya. Selama manusia ada, persoalan pendidikan tidak akan pernah hilang dari wacana suatu bangsa. Oleh karena itu, agenda pembangunan sektor pendidikan selalu ada dan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat suatu bangsa. Bangsa
Indonesia tidak pernah berhenti membangun sektor pendidikan dengan maksud agar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki mampu bersaing secara global. Jika demikian halnya, persoalan unggulan kompetitif bagi lulusan suatu institusi pendidikan sangat perlu untuk dikaji dan diperjuangkan ketercapaiannya dalam proses belajar mengajar oleh semua lembaga pendidikan di negeri ini agar lembaga pendidikan yang bersangkutan mampu menegakkan akuntabilitas kepada lingkungannya. Untuk dapat melakukan hal-hal yang demikian, lembaga pendidikan perlu melakukan berbagai upaya ke arah peningkatan kualitas secara berkesinambungan. Tanpa ada peningkatan kualitas secara berkesinambungan, pembangunan pendidikan akan terjebak pada upaya sesaat dan hanya bersifat tambal sulam yang reaktif. Upaya yang demikian itu tidak akan mampu memecahkan persoalan pendidikan yang sedang dan akan kita hadapi pada era milenium III ini. Sebaliknya, agar sektor pendidikan mampu mendorong semua proses pemberdayaan bangsa, ia harus direncanakan dan diprogramkan secara sistematis dan proaktif. Untuk dapat melakukan hal ini, kita perlu melakukan upaya-upaya yang bersifat reflektif dan reformatif. Upaya yang bersifat reflektif perlu dilakukan agar kita tidak mengulang hal-hal yang keliru di masa lampau. Bukan itu saja, dengan upaya yang bersifat reflektif, akhirnya kita akan mampu memberi makna suatu program dan proses pendidikan secara lebih kontekstual. Dengan cara seperti itu, pada akhirnya institusi pendidikan dapat membumikan programnya untuk memberdayakan peserta didik. Bukan sebaliknya, peserta didik yang justru harus dikendalikan agar cocok dan sesuai dengan program serta proses yang telah ada di suatu institusi pendidikan. Kalau hal seperti itu sampai terjadi, pada akhirnya pendidikan akan terjebak pada kegiatan-kegiatan yang bersifat drilling. Kegiatan belajar yang demikian tidak akan mampu menolong peserta didik untuk mencari jati dirinya secara lebih mandiri. Akhirnya, peserta didik tidak akan mampu mengembangkan kemampuan imajinatif yang bermanfaat untuk menumbuhkan kreativitas yang inovatif. Upaya yang bersifat reformatif dalam proses pendidikan juga sangat diperlukan agar pendidikan kita tidak berjalan di tempat. Tujuan utama melakukan upaya yang bersifat reformatif dalam sektor pendidikan ialah untuk melakukan rekonstruksi sosial ke arah bentuk masyarakat madani ideal seperti yang dicita-citakan. Dengan upaya yang reformatif, semua praksis pendidikan yang bertentangan dengan proses demokratisasi kehidupan yang sehat, adil, dan berharkat, perlu disingkirkan. Dengan paradigma yang demikian itu, rekonstruksi sosial akan mampu membangun masyarakat menjadi masyarakat madani yang penuh dengan praktik-praktik kehidupan atas dasar kasih sayang antara sesama warga masyarakat secara egaliter. Makalah ini disusun untuk tujuan ikut serta memberikan bahan dan informasi kepada semua pihak yang memiliki komitmen terhadap pendidikan. Sudah tentu informasi yang tercakup dalam makalah ini bukanlah segala-galanya, komprehensif, serta mampu mewakili semua praksis kebijakan, dan pengembangan sektor pendidikan Dengan demikian, aspek-aspek penting dalam pendidikan yang akan mendapat sorotan dalam tulisan ini ialah kurikulum, siswa, guru, proses pembelajaran, dan partisipasi masyarakat. BAB IISISTEM PENDIDIKAN(Kajian Analisis Kritis Antara Harapan dan Kenyataan) A.
Kurikulum Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya peran kurikulum, maka kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana kurikulum.Pada kenyataannya, sementara pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Jika demikian adanya, maka dinamika PBM serta kreativitas guru dan murid akan terhenti. Guru dan murid hanya terhenti pada sasaran materi yang dicanangkan pada buku kurikulum itu saja tanpa memperhatikan aspek lain yang telah berkembang begitu cepat di masyarakat. Di lain pihak memang ada yang memandang kurikulum dalam arti luas, yaitu kurikulum yang menyangkut semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan, baik formal maupun informal guna mencapai tujuan pendidikan.Beane (1986) membagi kurikulum dalam empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa. Hal ini seiring dengan pendapat Said Hamid Hasan (1988) yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, (b) kurikulum sebagai rencana tertulis, (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar.Kurikulum sekolah kita dalam arti produk masih mengandung banyak kerancuan. Sekolah-sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA serta SMK memiliki kurikulum yang amat sarat dengan mata pelajaran. Dampak nyata yang terlihat ialah daya serap peserta didik tidak optimal dan mereka cenderung belajar tentang banyak hal, tetapi dangkal. Kurikulum 1975 dirasakan amat membengkak dan sangat gemuk di samping kurikulum tersebut dalam arti program terlalu berorientasi pada produk belajar, bukannya proses belajar. Kemudian kurikulum itu direvisi lagi dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon telah mementingkan proses belajar dan perampingan. Namun perampingan itu juga tidak tuntas, sehingga ada komentar bahwa Kurikulum 1984 itu ramping, tetapi “montok”. Akibatnya juga mengundang rendahnya daya serap para peserta didik.Persoalan lain yang dianggap cukup urgen dalam kurikulum ialah tumpang tindih baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertical materi di kelas satu muncul lagi di kelas dua atau kelas tiga untuk mata pelajaran yang sama. Sedangkan secara horizontal muncul berbagai pokok bahasan yang sama pada beberapa mata pelajaran yang berbeda. Kesemuanya itu tentu tidak akan menguntungkan bila dilihat dari proses belajar mengajar, peserta didik akan merasa jemu untuk mengikutinya.Masalah berikutnya yang berkaitan dengan aspek kurikulum dalam arti proses belajar dan pengalaman belajar memiliki kaitan yang erat dengan perilaku guru di depan kelas dalam konteks belajar mengajar. Kurikulum dalam arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu proses membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint yang telah disiapkan seorang arsitektur, blueprint tersebut akan tidak bermakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di lokasi gedung itu akan didirikan. Analog ini, kurikulum masih memerlukan intervensi dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas. B. SiswaWajib belajar sembilan tahun telah menjadi agenda nasional yang amat penting, hal ini memang memiliki alasan dan legitimasi yang amat strategik. Suyanto (2000) menyatakan bahwa “angkatan kerja kita saat ini sebagian besar, kurang lebih 76 %, hanya memiliki pendidikan tidak lebih dari sekolah dasar.” Kondisi seperti ini cukup mencemaskan jika harus bersaing secara global dalam berbagai aspek kehidupan. Kita tidak dapat lagi menjadikan jumlah penduduk yang besar dengan upah yang murah sebagai salah satu daya tarik investor asing untuk ikut menanamkan modal di Indonesia. Justru kualitas penduduk yang perlu dijadikan sebagai daya tarik bagi para investor asing untuk memasuki
Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena pada abad ke-21, ciri penting pola hubungan antarnegara dan bangsa ialah adanya interdependensi satu sama lain. Jika kita tidak dapat menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi maka kita akan banyak mengalami kerugian dalam pola hubungan antarbangsa seperti itu.Permasalahan yang ada bahwa wajib belajar sembilan tahun hanya enak diucapkan, didengar, disemboyankan, apalagi dinyanyikan. Sebagian besar bangsa ini tentu mengetahui makna wajib belajar sembilan tahun, Akan tetapi, belum tentu semua warga Negara di republic tercinta ini sadar akan arti penting wajib belajar bagi kehidupan global bangsa di abad ke-21. Oleh karena itu, wajib belajar sembilan tahun perlu diimplementasikan dengan berbagai strategi yang terpadu dan tersistematis secara rapi. Pendekatan melalui jalur pendidikan sekolah saja belum tentu menjamin keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Mengapa demikian ? Karena wajib belajar tidak semata-mata berurusan dengan pembebasan SPP untuk para pelajar sampai dengan tingkat SMP. Namun jauh lebih rumit sebab berurusan dengan faktor-faktor lainnya seperti arti ekonomi anak bagi orang tua terhadap pendidikan, aspirasi pendidikan masyarakat, budaya masyarakat, dan sebagainya.Masalah berikutnya adalah masalah yang merupakan dampak negative dari perkembangan ilmu dan teknologi terhadap anak-anak pada era globalisasi ini. Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai adanya semangat globalisasi akan membawa perubahan cara hidup masyarakat. Dalam perubahan itu anak-anak tidak sedikit yang menderita. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh anak-anak
Indonesia menjadi semakin beragam.
Anak-nak Indonesia akan mengalami krisis idola nasional sebagai akibat begitu meledaknya teknologi komunikasi lewat TV yang bersifat global. Lebih parahnya lagi lahan tempat bermain anak-anak menjadi semakin sempit, bahkan di kota-kota besar anak-anak memang telah mengalami kesulitan untuk mencari tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain. Masalah lainnya yang berkaitan dengan siswa adalah masalah siswa yang memiliki kemampuan luarbiasa. Dalam UUSPN anak-anak yang memiliki bakat istimewa, yaitu mereka yang super pintar memang memperoleh jaminan untuk bisa diperlakukan atau dididik secara khusus. Pasal 8 ayat (2) dari UUSPN menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luarbiasa berhak memperoleh perhatian khusus.” Namun demikian, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal (2) tersebut masih harus ditetapkan dengan keputusan menteri. Inilah yang perlu segera diperhatikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, agar system pendidikan kita segera bisa memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa. C. GuruBerkaitan dengan kualitas guru ini, Raka Joni (1980) mengemukakan adanya tiga dimensi umum yang menjadi kompetensi tenaga kependidikan, antara lain :
Indonesia tidak pernah berhenti membangun sektor pendidikan dengan maksud agar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki mampu bersaing secara global. Jika demikian halnya, persoalan unggulan kompetitif bagi lulusan suatu institusi pendidikan sangat perlu untuk dikaji dan diperjuangkan ketercapaiannya dalam proses belajar mengajar oleh semua lembaga pendidikan di negeri ini agar lembaga pendidikan yang bersangkutan mampu menegakkan akuntabilitas kepada lingkungannya. Untuk dapat melakukan hal-hal yang demikian, lembaga pendidikan perlu melakukan berbagai upaya ke arah peningkatan kualitas secara berkesinambungan. Tanpa ada peningkatan kualitas secara berkesinambungan, pembangunan pendidikan akan terjebak pada upaya sesaat dan hanya bersifat tambal sulam yang reaktif. Upaya yang demikian itu tidak akan mampu memecahkan persoalan pendidikan yang sedang dan akan kita hadapi pada era milenium III ini. Sebaliknya, agar sektor pendidikan mampu mendorong semua proses pemberdayaan bangsa, ia harus direncanakan dan diprogramkan secara sistematis dan proaktif. Untuk dapat melakukan hal ini, kita perlu melakukan upaya-upaya yang bersifat reflektif dan reformatif. Upaya yang bersifat reflektif perlu dilakukan agar kita tidak mengulang hal-hal yang keliru di masa lampau. Bukan itu saja, dengan upaya yang bersifat reflektif, akhirnya kita akan mampu memberi makna suatu program dan proses pendidikan secara lebih kontekstual. Dengan cara seperti itu, pada akhirnya institusi pendidikan dapat membumikan programnya untuk memberdayakan peserta didik. Bukan sebaliknya, peserta didik yang justru harus dikendalikan agar cocok dan sesuai dengan program serta proses yang telah ada di suatu institusi pendidikan. Kalau hal seperti itu sampai terjadi, pada akhirnya pendidikan akan terjebak pada kegiatan-kegiatan yang bersifat drilling. Kegiatan belajar yang demikian tidak akan mampu menolong peserta didik untuk mencari jati dirinya secara lebih mandiri. Akhirnya, peserta didik tidak akan mampu mengembangkan kemampuan imajinatif yang bermanfaat untuk menumbuhkan kreativitas yang inovatif. Upaya yang bersifat reformatif dalam proses pendidikan juga sangat diperlukan agar pendidikan kita tidak berjalan di tempat. Tujuan utama melakukan upaya yang bersifat reformatif dalam sektor pendidikan ialah untuk melakukan rekonstruksi sosial ke arah bentuk masyarakat madani ideal seperti yang dicita-citakan. Dengan upaya yang reformatif, semua praksis pendidikan yang bertentangan dengan proses demokratisasi kehidupan yang sehat, adil, dan berharkat, perlu disingkirkan. Dengan paradigma yang demikian itu, rekonstruksi sosial akan mampu membangun masyarakat menjadi masyarakat madani yang penuh dengan praktik-praktik kehidupan atas dasar kasih sayang antara sesama warga masyarakat secara egaliter. Makalah ini disusun untuk tujuan ikut serta memberikan bahan dan informasi kepada semua pihak yang memiliki komitmen terhadap pendidikan. Sudah tentu informasi yang tercakup dalam makalah ini bukanlah segala-galanya, komprehensif, serta mampu mewakili semua praksis kebijakan, dan pengembangan sektor pendidikan Dengan demikian, aspek-aspek penting dalam pendidikan yang akan mendapat sorotan dalam tulisan ini ialah kurikulum, siswa, guru, proses pembelajaran, dan partisipasi masyarakat. BAB IISISTEM PENDIDIKAN(Kajian Analisis Kritis Antara Harapan dan Kenyataan) A.
Kurikulum Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model pendidikan yang mana pun. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya. Mengingat pentingnya peran kurikulum, maka kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana kurikulum.Pada kenyataannya, sementara pihak memang ada yang memahami kurikulum itu hanya dalam arti kata yang sempit, yaitu kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan tertentu. Jika demikian adanya, maka dinamika PBM serta kreativitas guru dan murid akan terhenti. Guru dan murid hanya terhenti pada sasaran materi yang dicanangkan pada buku kurikulum itu saja tanpa memperhatikan aspek lain yang telah berkembang begitu cepat di masyarakat. Di lain pihak memang ada yang memandang kurikulum dalam arti luas, yaitu kurikulum yang menyangkut semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan, baik formal maupun informal guna mencapai tujuan pendidikan.Beane (1986) membagi kurikulum dalam empat jenis, yaitu (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa. Hal ini seiring dengan pendapat Said Hamid Hasan (1988) yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, (b) kurikulum sebagai rencana tertulis, (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar.Kurikulum sekolah kita dalam arti produk masih mengandung banyak kerancuan. Sekolah-sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMA serta SMK memiliki kurikulum yang amat sarat dengan mata pelajaran. Dampak nyata yang terlihat ialah daya serap peserta didik tidak optimal dan mereka cenderung belajar tentang banyak hal, tetapi dangkal. Kurikulum 1975 dirasakan amat membengkak dan sangat gemuk di samping kurikulum tersebut dalam arti program terlalu berorientasi pada produk belajar, bukannya proses belajar. Kemudian kurikulum itu direvisi lagi dengan munculnya kurikulum 1984 yang konon telah mementingkan proses belajar dan perampingan. Namun perampingan itu juga tidak tuntas, sehingga ada komentar bahwa Kurikulum 1984 itu ramping, tetapi “montok”. Akibatnya juga mengundang rendahnya daya serap para peserta didik.Persoalan lain yang dianggap cukup urgen dalam kurikulum ialah tumpang tindih baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertical materi di kelas satu muncul lagi di kelas dua atau kelas tiga untuk mata pelajaran yang sama. Sedangkan secara horizontal muncul berbagai pokok bahasan yang sama pada beberapa mata pelajaran yang berbeda. Kesemuanya itu tentu tidak akan menguntungkan bila dilihat dari proses belajar mengajar, peserta didik akan merasa jemu untuk mengikutinya.Masalah berikutnya yang berkaitan dengan aspek kurikulum dalam arti proses belajar dan pengalaman belajar memiliki kaitan yang erat dengan perilaku guru di depan kelas dalam konteks belajar mengajar. Kurikulum dalam arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu proses membangun sebuah gedung yang monumental. Bagaimanapun bagusnya blueprint yang telah disiapkan seorang arsitektur, blueprint tersebut akan tidak bermakna tanpa adanya pelaksana yang kompeten dalam bidang bangunan di lokasi gedung itu akan didirikan. Analog ini, kurikulum masih memerlukan intervensi dan kearifan seorang guru yang akan mengajarkannya di depan kelas. B. SiswaWajib belajar sembilan tahun telah menjadi agenda nasional yang amat penting, hal ini memang memiliki alasan dan legitimasi yang amat strategik. Suyanto (2000) menyatakan bahwa “angkatan kerja kita saat ini sebagian besar, kurang lebih 76 %, hanya memiliki pendidikan tidak lebih dari sekolah dasar.” Kondisi seperti ini cukup mencemaskan jika harus bersaing secara global dalam berbagai aspek kehidupan. Kita tidak dapat lagi menjadikan jumlah penduduk yang besar dengan upah yang murah sebagai salah satu daya tarik investor asing untuk ikut menanamkan modal di Indonesia. Justru kualitas penduduk yang perlu dijadikan sebagai daya tarik bagi para investor asing untuk memasuki
Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena pada abad ke-21, ciri penting pola hubungan antarnegara dan bangsa ialah adanya interdependensi satu sama lain. Jika kita tidak dapat menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi maka kita akan banyak mengalami kerugian dalam pola hubungan antarbangsa seperti itu.Permasalahan yang ada bahwa wajib belajar sembilan tahun hanya enak diucapkan, didengar, disemboyankan, apalagi dinyanyikan. Sebagian besar bangsa ini tentu mengetahui makna wajib belajar sembilan tahun, Akan tetapi, belum tentu semua warga Negara di republic tercinta ini sadar akan arti penting wajib belajar bagi kehidupan global bangsa di abad ke-21. Oleh karena itu, wajib belajar sembilan tahun perlu diimplementasikan dengan berbagai strategi yang terpadu dan tersistematis secara rapi. Pendekatan melalui jalur pendidikan sekolah saja belum tentu menjamin keberhasilan wajib belajar sembilan tahun. Mengapa demikian ? Karena wajib belajar tidak semata-mata berurusan dengan pembebasan SPP untuk para pelajar sampai dengan tingkat SMP. Namun jauh lebih rumit sebab berurusan dengan faktor-faktor lainnya seperti arti ekonomi anak bagi orang tua terhadap pendidikan, aspirasi pendidikan masyarakat, budaya masyarakat, dan sebagainya.Masalah berikutnya adalah masalah yang merupakan dampak negative dari perkembangan ilmu dan teknologi terhadap anak-anak pada era globalisasi ini. Perubahan teknologi yang sangat cepat dan disertai adanya semangat globalisasi akan membawa perubahan cara hidup masyarakat. Dalam perubahan itu anak-anak tidak sedikit yang menderita. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh anak-anak
Indonesia menjadi semakin beragam.
Anak-nak Indonesia akan mengalami krisis idola nasional sebagai akibat begitu meledaknya teknologi komunikasi lewat TV yang bersifat global. Lebih parahnya lagi lahan tempat bermain anak-anak menjadi semakin sempit, bahkan di kota-kota besar anak-anak memang telah mengalami kesulitan untuk mencari tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain. Masalah lainnya yang berkaitan dengan siswa adalah masalah siswa yang memiliki kemampuan luarbiasa. Dalam UUSPN anak-anak yang memiliki bakat istimewa, yaitu mereka yang super pintar memang memperoleh jaminan untuk bisa diperlakukan atau dididik secara khusus. Pasal 8 ayat (2) dari UUSPN menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luarbiasa berhak memperoleh perhatian khusus.” Namun demikian, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal (2) tersebut masih harus ditetapkan dengan keputusan menteri. Inilah yang perlu segera diperhatikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, agar system pendidikan kita segera bisa memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa. C. GuruBerkaitan dengan kualitas guru ini, Raka Joni (1980) mengemukakan adanya tiga dimensi umum yang menjadi kompetensi tenaga kependidikan, antara lain :
- Kompetensi personal atau pribadi, maksudnya seorang guru harus memeiliki kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
- kompetensi professional, maksudnya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
- Kompetensi kemasyarakatan, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi baik dengan isswa, sesame guru, maupun masyarakat luas.
Boston; Allyn and Bacon. Peraturan Daerah Kab. Kuningan Nomor 06 Tahun 2004 Tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Kuningan Tahun 2004-2008. Peraturan Daerah Kab. Kuningan Nomor 07 Tahun 2004 Tentang Pola Pembangunan Daerah Kabupaten Kuningan Tahun 2004-2008. Peraturan Daerah Kab. Kuningan Nomor 08 Tahun 2004 Tentang Rencana Strategis Kabupaten Kuningan Tahun 2004-2008. Raka, Joni; 1980; Pengembangan Kurikulum IKIP/FIP/PKG: Suatu Kasus Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi;
Jakarta 3G. Sindhunata; 2001; Pendidikan:Kegelisahan Sepanjang Zaman;
Yogyakarta; Kanisius. Surya, Mohamad; 2004; Implikasi Kebijakan Otonomi daerah terhadap Tuntutan Pengembangan Sumber daya Manusia; Makalah dalam Seminar Sehari Dalam rangka Dies Natalis I Universitas Kuningan, tanggal 17 Juni 2004, di Kuningan. Suyanto dan Djihad Hisyam; 2000; Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III;
Yogyakarta; Adicita Karya Nugraha. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar